Sekalipun Islam memberikan kebebasan
kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan yang menjadi keinginan hatinya,
tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong
sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang
lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan
rakyat.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. melarang
menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda Rasul:
"Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya." (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Dan sabdanya pula:
"Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa." (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun (orang yang berbuat
dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan oleh al-Quran untuk
mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti Fir'aun, Haaman dan
konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
"Sesungguhnya Fir'aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat salah/dosa." (al-Qashash: 8)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang
kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai
berikut:
"Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira." (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami'nya)
Dan sabdanya pula:
"Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat." (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
Ini semua bisa terjadi, karena seorang
pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan:
-
Dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, di saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya, kemudian datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta, kendati sangat tinggi dan melewati batas.
-
Dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang, kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan dia beroleh keuntungan pula. Kemudian dia berdagang lainnya pula dan beroleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua
ini lebih dapat membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapatkan barakah serta
si pemiliknya sendiri --insya Allah-- akan beroleh rezeki, sebagaimana spirit
yang diberikan oleh Nabi s.a.w.
Di antara hadis-hadis penting yang
berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Ma'qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi. Ketika dia sedang
menderita sakit keras, didatangi oleh Abdullah bin Ziad --salah seorang gubernur
dinasti Umaiyah-- untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma'qil:
Hai Ma'qil: Apakah kamu menduga, bahwa aku ini seorang yang memeras darah haram?
Ia menjawab: Tidak. Ia bertanya lagi: Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur
dalam masalah harga orang-orang Islam? Ia menjawab: Saya tidak pernah melihat.
Kemudian Ma'qil berkata: Dudukkan aku! Mereka pun kemudian mendudukkannya,
lantas ia berkata: Dengarkanlah, hai Abdullah! Saya akan menceriterakan kepadamu
tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah s.a.w., bukan sekali dua
kali.
Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda demikian:
"Barangsiapa ikut campur tentang harga-harga orang-orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka keberatan, maka adalah menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan dia itu pada api yang sangat besar nanti di hari kiamat." Kemudian Abdullah bertanya: "Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w.?!" Ma'qil menjawab: "Bukan sekali dua kali." (Riwayat Ahmad dan Thabarani)
Dari nas-nas hadis tersebut dan
mafhumnya, para ulama beristimbat (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya
menimbun adalah dengan dua syarat:
-
Dilakukan di suatu negara di mana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
-
Dengan maksud untuk menatkkan harga sehingga orang-orang merasa payah, supaya dia beroleh keuntungan yang berlipat-ganda.
Halal & Haram Dalam Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar