Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai
lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan
memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi
panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan
problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah. Cara ini disebut
thalaq.
Islam, sekalipun memperkenankan memasuki
cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal
yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:
"Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq." (Riwayat Abu Daud)"Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq." (Riwayat Abu Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah
memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan
semata-mata karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan
perpisahan antara suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak
harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum
perkawinan.
Dalam satu pepatah dikatakan: "kalau
tidak ada kecocokan, ya perpisahan." Tetapi firman Allah
mengatakan:
"Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya." (an-Nisa': 130)
3.2.20.1 Talaq Sebelum Islam
Bukan Islam saja satu-satunya agama yang
membenarkan adanya talaq, bahkan sebelum Islam, talaq sudah merata di dunia,
apabila kita mau kecualikan satu ummat atau dua ummat, yaitu: apabila seorang
suami sedang marah kepada isterinya, maka isterinya itu diusir dari rumah dengan
tangan hampa, atau tidak ada kekuasaan sedikitpun. Si perempuan tidak ada
wewenang untuk membela diri, mendapat ganti atau hak-hak lain.
Dan ketika bangsa Yunani mulai bangkit
dan kebudayaan mulai menanjak, maka persoalan talaq telah merata di kalangan
masyarakat, tanpa suatu ikatan dan persyaratan.
Talaq bagi orang-orang Romawi dinilai
dari eksistensi perkawinan itu sendiri. Sehingga para hakim pun dapat
membatalkan perkawinan, walaupun kedua belah pihak telah berjanji tidak akan
bercerai. Padahal perkawinan secara keagamaan menurut generasi pertama tidak
membenarkan adanya talaq. Tetapi pada waktu itu juga seorang suami diberinya
kekuasaan penuh, tanpa batas (absolut) terhadap isterinya. Sehingga dalam
beberapa hal dia dibenarkan membunuh isterinya. Kemudian agama mereka ini
mencabut hak tersebut dan membenarkan adanya talaq yang juga dibenarkan oleh
undang-undang sipil yang berlaku.
3.2.20.2 Talaq dalam Pandangan Agama Yahudi
Agama Yahudi menganggap baik persoalan
talaq dengan menitik-beratkan peninjauannya kepada keadaan isteri. Tetapi
perkenan itu diperluas. Seorang suami oleh syara' diharuskan mencerai isterinya
kalau ternyata si isteri berbuat fasik, sekalipun suami telah
memaafkannya.
Undang-undang pun memaksa kepada suami
untuk mencerai isterinya kalau perkawinan itu berjalan 20 tahun, tetapi ternyata
tidak menghasilkan anak.
3.2.20.3 Talaq dalam Pandangan Agama Kristen
Kristen adalah agama yang menyimpang
dari agama-agama yang kami tuturkan di atas, bahkan bertentangan dengan agama
Yahudi itu sendiri. Injil melalui lidah al-Masih mengharamkan talaq dan
mengharamkan mengawini laki-laki atau perempuan yang ditalaq.
Injil karangan Matius fasal 5 ayat 31
dan 32 mengatakan: "Barangsiapa mencerai bininya, hendaklah ia memberi surat
talaq kepadanya. Tetapi aku ini berkata kepadamu: barangsiapa mencerai bininya
lain daripada sebab berzina, ialah menjadi pohon yang sebab perempuan itu
berzina; dan barangsiapa berbinikan perempuan yang diceraikan demikian itu, ia
pun berzina."
Dan dalam Injil karangan Markus, fasal
10 ayat 11 dan 12 dikatakan: "Barangsiapa menceraikan bininya, lalu berbinikan
orang lain, ialah berbuat zina terhadap bininya yang dahulu itu. Dan jikalau
seorang perempuan menceraikan lakinya, lalu berlakikan orang lain, ia pun
berbuat zina."
Injil memberikan alasan haramnya talaq
yang demikian keras itu karena: "sesuatu yang telah dijodohkan oleh Allah jangan
diceraikan oleh manusia." (Matius 19:
6).
Alasan ini maksudnya baik. Tetapi
menjadikan alasan tersebut untuk melarang perceraian adalah suatu hal yang
sangat ganjil. Sebab maksud Allah menjodohkan antara suami-isteri itu
pengertiannya, bahwa Ia memberi izin dan mengatur jalannya perkawinan. Oleh
karena itu benar kalau menisbatkan penjodohan kepada Allah, sekalipun pada
hakikatnya manusialah yang langsung mengadakan aqad.
Jika Allah membenarkan dan mengatur
perceraian karena sebab dan alasan yang mengharuskan, maka perceraian waktu itu
artinya dari Allah juga, sekalipun pada hakikatnya manusia itu sendiri yang
secara langsung melakukan perceraian.
Dengan demikian, jelas bukan manusia itu
sendiri yang menceraikan apa yang telah dijodohkan Allah. Bahkan baik yang
menjodohkan maupun yang menceraikan adalah Allah. Bukankah Allah jua yang
menceraikan antara suami-isteri lantaran sebab berzina?! Mengapa Allah tidak
boleh menceraikan suami-isteri lantaran sebab lain yang mengharuskan
cerai?!
Halal & Haram Dalam Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar