Dari sini seorang suami tidak boleh
mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam
perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan
membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri
maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh
mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita
tidak baik yang mendatang.
Adapun apabila seorang isteri
mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa
tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan
seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan
anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya
tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan
identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam
membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka
barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya
dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal
tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan,
kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua
belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam
al-Quran:
"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk
selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
Kalau seorang ayah sudah tidak
dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu
juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya
sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan
begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan
nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih
anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak
tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama
senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini
sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas
mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah
pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad
sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah.
Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu
penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan
bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada
Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui
tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih.
Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya
sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri
dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid
bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk
Islam.
Halal & Haram Dalam Islam
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar