Setelah kita bicarakan tentang aneka bahaya
yang mengintai dan berkeliaran di seputar kita, kita tersadarkan bahwa
sebenarnya kondisi kita ini bagai berhadapan dengan jarum-jarum beracun bahkan
mengandung narkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) yang sifatnya mengancam
keimanan dan keislaman. Kini tiba gilirannya untuk mengakhiri pembicaraan.
Pada intinya, betapa jauh antara ketinggian dan keteguhan
manusia-manusia teladan pada periode awal Islam, yakni tiga generasi terbaik
(sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in) dalam memegangi Islam dan
mengamalkannya, kalau dibandingkan dengan kondisi ummat Islam di zaman kita yang
dikerubuti oleh aneka kesesatan, penyelewengan, dan pengaburan. Jauhnya
perbedaan itu sering tidak kita sadari, sehingga tidak jarang di kalangan kita
sekarang sering kita temui orang-orang yang seenak udelnya melontarkan tuduhan
ataupun tudingan kepada para sahabat Nabi saw dengan asumsi bahwa mereka pun
suka berdusta seperti halnya kita. Padahal, di antara sesama kita pun akan marah
kalau dituduh sembarangan, walaupun akhlaq di kalangan kita relatif telah sangat
longgar dari rasa malu.
Meskipun demikian, dari secercah ketidak terimaan apabila
dituduh sembarangan itu, sebenarnya di zaman kini pun masih bisa diharapkan
adanya perbaikan dari berbagai seginya. Oleh karena itu, sebagai penutup
pembahasan masalah-masalah yang mengancam bagi keimanan dan keislaman dalam buku
ini mari kita tutup dengan mengaca diri. Kita bandingkan antara perilaku para
sahabat Nabi saw dengan keberanian kita di masa kini dalam melanggar agama dan
mempermain-mainkannya. Berikut ini gambaran singkatnya.
Wabah Kolusi ke Agama
Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah SAW. Ia
berkata, "Aku lapar." Maka Rasulullah kepada isteri-isterinya menanyakan
makanan, tapi tidak ada, beliau bersabda: "Apakah tidak ada seorang yang mau
menerima orang ini sebagai tamu malam ini? Ketahuilah bahwa orang yang mau
menerima laki-laki ini sebagai tamu (dan memberi makan) malam ini, akan diberi
rahmat oleh Allah."
Berkata Abu Thalhah seorang dari golongan Anshar: "Saya
ya Rasulullah". Maka ia pergi menemui isterinya dan berkata, "Hormatilah tamu
Rasulullah".
Isterinya menjawab: "Demi Allah, tidak ada makanan kecuali
makanan untuk anak-anak".
Suaminya berkata: "Apabila anak-anak hendak makan malam,
tidurkanlah mereka, padamkanlah lampu biarlah kita menahan lapar pada malam ini,
agar kita dapat menerima tamu Rasulullah." Maka hal itu dilakukan
isterinya.
Pagi-pagi besoknya Abu Thalhah menghadap Rasulullah
SAW menceritakan peristiwa malam itu dan beliau bersabda, "Allah SWT benar-benar
kagum malam itu terhadap perbuatan suami-isteri tersebut
.”[1]
Peristiwa itu merupakan salah satu sebab turunnya ayat 9
Surat Al-Hasyr/59:
والذين تبوءوا ..................................................
هم المفلحون.
Artinya:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah
dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) di atas diri mereka
sendiri, sekaligus mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung
."
Diriwayatkan pula oleh
Al-Wahidi dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar bahwa seorang sahabat
Rasulullah dari golongan Anshar diberi kepala kambing. Timbul pikirannya,
"mungkin orang lain lebih memerlukan dari aku." Seketika itu juga kepala kambing
itu dikirimkan kepada kawannya, tetapi oleh kawannya itu dikirim pula kepada
kawannya yang lain, sehingga kepala kambing itu berpindah-pindah pada tujuh
rumah dan akhirnya kembali ke rumah orang yang pertama.
Sebegitu besar kesetiaan
para sahabat Nabi kepada sesamanya dalam ukhuwah Islamiyah yang benar-benar
terjalin antara hati dengan hati. Hingga mereka mendahulukan kepentingan
kawannya dibanding kepentingan diri sendiri, sekalipun dirinya sendiri
butuh
dan bahkan dalam keadaan sempit.
Dalam kondisi ukhuwah
Islamiyah yang sangat bertenggang rasa itu tidak ada pula yang menggunakan
kesempatan, mumpung orang lagi mau berbaik-baik pada orang lain. Tidak. Mereka
yang sangat membutuhkan pertolongan orang lain pun tidak
merengek-rengek, hingga tidak nampak bahwa
mereka itu butuh. Sikap itu pun dihargai oleh Allah, sehingga langsung Allah
membela mereka dengan firman-Nya:
للفقراء
الذين........................................................ فإن الله به
عليم.
Artinya:
"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi.
Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya, karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifat mereka. Mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui". (Al Baqarah: 273).
) Gejala Masa Kini dan
jalan keluarnya
Betapa indahnya jalinan
ukhuwah Islamiyah di kalangan para sahabat Nabi SAW. Namun, contoh yang baik itu
kini tidak tampak di masyarakat Muslim. Mereka yang berkecukupan saat ini
berhadapan sikap dengan yang miskin. Yang kaya boleh jadi serakah dan kikir,
sedang yang miskin boleh jadi tama' dan loba. Hingga tak ketemu antara
keduanya.
Pada gilirannya, yang
ketemu bahkan ikan di laut luas, di sela-sela karang, bahkan di sela-sela kaki
buaya tetap dikejar-kejar dan ditangkap, dimasukkan di aquarium dan dipajang di
etalase, diberi makan dengan menu khusus. Itulah ikan Arwana yang ditangkap dari
sela-sela perut buaya di laut luas sana. Namun, rintihan dan jeritan orang
miskin yang lapar dan sakit-sakitan di seberang rumah, mungkin tak ketangkap
oleh hati kita. Ada pula perkutut di pucuk pohon di hutan belantara. Ia dikejar,
ditangkap dan dimasukkan ke kurungan emas di rumah gedung indah, dipiara dengan
pelayanan khusus. Tapi anak-anak yatim yang terlantar di seberang jalan tak
tertangkap oleh mata dan matahati kita. (Lebih buruk lagi, bahkan ada penguasa
yang sengaja membubarkan lembaga yang mengurusi panti-panti anak-anak yatim.
Akibatnya panti-panti asuhan terutama yang Islam tidak mendapatkan jatah dana
lagi setiap bulannya. Akibatnya lagi, pihak Nasrani yang punya dana kuat dan
kemungkinan besar mendapatkan dana internasional lebih berleluasa untuk
“menjarah” anak-anak yatim untuk dinasranikan. Jadi, diam-diam pembubaran
lembaga tersebut oleh seorang penguasa yang diduga pro Yahudi dan Nasrani itu
merupakan program besar nasranisasi di Indonesia yang penduduknya 210 juta
mayoritas Islam ini). Ketidak pedulian kita terhadap orang lemah juga
ditunjukkan dengan memelihara anjing-anjing dari seberang negeri, sengaja
didatangkan untuk "menghiasi" rumah. Dilayani dan
dimanjakan dengan penuh perhatian. Tapi, janda tua renta di belakang rumah yang
menjerit kelaparan dan dililit utang, tak tertangkap aduhannya.
Astaghafirullahal
‘Adhiem, binatang-binatang di laut, di hutan, dan di
seberang negeri itu makin langka karena banyak ditangkap, dan otomatis kemudian
harganya mahal, namun tetap dikejar. Sedang orang-orang terlantar, anak-anak
yatim dan miskin itu makin banyak
dan berserakan, namun mereka tidak "tertangkap" oleh
hati nurani insani yang telah "mati". Lebih buruk lagi, bahkan anak-anak yatim
dan orang-orang lemah itu sengaja dibiarkan bahkan diprogramkan agar “dimangsa”
oleh para pemurtad-pemurtad yang siap sedia setiap saat untuk memurtadkan
Muslimin yang lemah-lemah ekonomi dan imannya. Wabah apa ini?
Penyakit hati tak punya iba
semacam itu di dalam Al-Quran dikecam sebagai tingkah mendustakan addien
(agama, hari pembalasan/ akherat). Namun kini penyakit itu justru bisa
bergabung dengan penyakit menjual agama, menjual Muslimin sebagai “mangsa”
pemurtadan. Terjadilah kolusi antara pendusta agama dengan penjual agama, satu
bentuk
kolusi yang benar-benar gawat. Bagaimana bisa
terjadi? Mudah saja. Pintu-pintu yang mengarah kepada kekuatan Muslimin ditutup
erat-erat, sedang pintu-pintu yang menjurus kepada lalu lalangnya para pemangsa
Muslimin untuk dimurtadkan maka dibuka lebar-lebar.
Dari sisi lain, ada model yang unik pula. Misalnya, di
saat-saat peringatan 1000 hari matinya tokoh pendusta agama itu (peringatan
kematian itu sendiri sebenarnya suatu bid’ah, karena tidak diajarkan dalam
Islam) seorang penjual agama berpidato, misalnya:
Saudara-saudara yang kami muliakan. Jasa almarhum
Tuan Anu yang kita peringati 1000
harinya ini tidak banyak orang tahu. Padahal, jasa
itu cukup menonjol dalam agama. Beliau telah memberi jaminan makan terhadap
anjingnya selama 10 tahun dengan daging rata-rata 0,5 kg per hari. Padahal,
sekali memberi minum anjing yang kehausan saja,
seorang pelacur telah diampuni dosanya, gara-gara
menyayangi anjing yang kehausan itu. Lantas, kalau diukur, berapa kali lipat
nilai pahala almarhum ini yang telah 10 tahun menyayangi anjingnya dengan aneka
pelayanan. Maka cukuplah jasanya terhadap anjing
itu akan menghantarkannya ke surga.
(Gambaran pidato itu sekadar suatu analogi
dengan adanya seorang ahli tafsir lulusan Mesir yang pernah berpidato dalam
upacara peringatan 40 hari / atau entah 100 hari meninggalnya isteri presiden
masa orde baru, Ny Tien isteri Presiden Soeharto, di kediaman sang presiden Jl
Cendana Jakarta. Di antara isi pidatonya adalah memuji-muji jasa mendiang,
memprakarsai pembangunan museum yang disebut Baitul Qur’an di Taman Mini
Indonesia Indah. Sedemikian drastisnya pemujian itu hingga dikaitkan dengan
surga, seakan yang berpidato itu memberikan katabelece untuk masuk surga. Pidato
itupun disiarkan langsung oleh televisi saat itu. --Sementara itu di kampung
penulis ada berita yang beredar, tukang memandikan mayat di kampung penulis yang
memandikan mayat Nyonya itu dijanjikan untuk naik haji gratis, namun
ditunggu-tunggu sampai kini tidak pernah janji itu terwujudkan--. Sebaliknya,
ternyata profesor yang pidato itu kemudian diangkat menjadi menteri agama,
namun baru 70 hari menduduki kursi tahu-tahu bossnya yakni sang presiden
dilengserkan/ diturunkan ramai-ramai oleh demonstran secara massal yang terdiri
dari puluhan ribu mahasiswa selama berhari-hari, akhirnya turun dari jabatan
presiden, sedang yang pidato tadipun otomatis habis masa lakunya sebagai
menteri/ pembantu presiden 1998).
Penjual agama dan pendusta
agama (bukan mayat yang diperingati itu, tetapi orang yang masih hidup) telah
berkolusi, diumumkan di depan khalayak ramai. Seolah penjual agama memberikan
katabelece kepada mayat keluarga pendusta agama untuk masuk surga. Padahal
masalah surga dan diterimanya amal adalah masalah ghaib, hanya Allah sajalah
yang tahu. Namun karena adanya pidato seorang profesor yang seperti itu, maka
orang awam agama (walau mungkin intelek) pun manggut-manggut, tidak faham bahwa
itu semua adalah kata-kata dan tingkah dusta. Atau paling kurang adalah
melangkahi hak dan wewenang Allah SWT.
Coba kita bandingkan dengan peristiwa di masa Nabi Muhammad
saw berikut ini:
“Bahwa Utsman bin Madh’un ra, seorang sahabat pilihan,
ketika wafat, sedang Rasul saw hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat
besar perempuan (shahibyyah) Ummu Al-‘Ala’, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu
As-Saib (Utsman bin Madh’un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka
Rasul SAW membantahnya dengan berkata:
وما يدريك أن الله قد أكرمه؟
“Wa maa yudriika annallooha qod
akromahu?”
“Bagaimana kamu tahu bahwa Allah sungguh
telah memuliakannya?”
Ini adalah peringatan
yang besar dari Rasul SAW kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan
hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada
yang menjangkau hal gaib kecuali Allah SWT. Tetapi Shahabiyyah (sahabat wanita)
ini membalas dengan berkata:
“Subhanallah, ya Rasulallah! Siapa (lagi) kah yang
akan Allah muliakan kalau Dia tidak memuliakannya?”
Artinya, jika Utsman bin Madh’un ra tidak termasuk orang
yang dimuliakan Allah SWT, maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang
akan dimuliakan Allah SWT. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup
bermakna. Tetapi Rasul SAW menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu,
di mana beliau bersabda:
والله إني لرسول الله لا أدري ما يفعل بي غدا.
“Walloohi innii larosuululloohi laa adrii maa yaf’alu bii
ghodan.”
“ Demi
Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia
perbuat padaku esok.”
Ini adalah puncak perkara.
Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah, beliau
wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan di sinilah Ummu Al-‘Ala’
sampai pada hakekat syara’ yang besar, maka dia berkata:
“Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci
terhadap seorang pun selama-lamanya.” [2]
Jelaslah bagi kita, betapa masalah ghaib adalah perkara
besar, dan tidak diketahui oleh siapapun, sampai Nabi Muhammad SAW sekalipun,
kecuali hanya Allah SWT. Lantas sahabat Nabi saw yang diberi keterangan
demikian, dia terus berjanji untuk sangat bersikap hati-hati sekali.
Demikianlah di antara rambu-rambu yang ada di dalam Islam.
Dalam berbagai hal, para sahabat Nabi saw mengamalkan perintah dan menjauhi
larangan secara ikhlas, sesuai dengan aturan yang ada. Sedang apabila berkaitan
dengan hubungan sesama manusia maka berbentuk ukhuwah Islamiyah yang saling
menyayangi (ruhamaa’u bainahum), dan asyiddaa’u ‘alal kuffaar
(bersikap tegas terhadap orang-orang kafir). Apabila bersalah atau keliru
maka cepat-cepat bertobat dan kembali kepada kebenaran, serta tidak akan
mengulanginya. Bukan malah ngotot.
Kalau dibandingkan dengan kondisi kita sekarang,
kita temukan pemandangan yang kontras sekali. Kisah sahabat Nabi saw tersebut
(di alenia awal tentang solidaritas Islam yang sangat tinggi, dan juga pada
riwayat Shahabiyyah Ummu Al-‘Ala’ tentang keharusan berhati-hati mengenai bicara
agama terutama hal ghaib), mereka adalah jelas menegakkan dan mengamalkan agama
dengan sangat teguh, sedang kisah kolusi dalam kehidupan masa kini itu adalah
menyepelekan agama, sembrono, bahkan ada yang sampai merusak agama dengan sangat
liciknya. Sadarlah kita, beginilah
keadaannya. Mari kita perbaiki diri kita dengan kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah sesuai dengan pemahaman dan pengamalan generasi terbaik, yaitu tiga
generasi awal Islam (Shahabat, Tabi’ien, dan Tabi’it Tabi’ien) secara konsisten,
konsekuen, dan istiqomah. Itu secara pribadi-pribadi. Sedang secara tanggung
jawab bersama, perlu kita sadari bahwa gejala rusak yang melanda sekarang ini
akan menumbuhkan satu generasi rusak agamanya yang parah. Bila satu generasi
telah rusak parah agamanya, maka kemungkinan besar akan mewariskan generasi yang
lebih parah, atau paling kurang adalah sama parahnya dengan sebelumnya. Maka,
sebelum kerusakan ini menumbuhkan satu generasi yang rusak parah, hendaknya
Muslimin yang sadar akan pentingnya manhaj shahih dalam Islam mengadakan
musyawarah, bagaimana menghadapi masalah amat gawat ini. Pertama, perlu
dimusyawarahkan langkah-langkah untuk memasyarakatkan kesadaran bahwa sekarang
ini Ummat Islam dilanda kerusakan dari aneka seginya. Jadi Ummat Islam secara
keseluruhan perlu disadarkan masalah bahaya yang melanda diri mereka selama ini.
Kedua, perlu dimusyawarahkan langkah-langkah untuk memasyarakatkan atau
menda’wahkan Islam dengan manhaj yang shahih secara sistematis, terencana rapi,
dan tidak menyimpang dari pola yang telah ditempuh Nabi Muhammad saw dan
diwarisi oleh generasi awal Islam yang bisa mengubur adat jahiliyah berganti
dengan Islam. Di sini peran muballigh, khothib, imam masjid, para guru agama/
ustadz dan tokoh Islam pada umumnya, bahkan Ummat Islam secara umum sangat
diperlukan untuk digalang maju bersama di atas jalan yang benar. Dan di situ
pula masih tetap harus merujuk kepada firman Allah SWT:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله
واليوم الأخر، ذلك خير وأحسن تأويلا.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS
An-Nisaa’/ 4:59).
Perlu disadari, tidak ada lain yang mau mendandani,
memperbaiki atau memulihkan kembali Ummat Islam ini kecuali diri Muslimin
sendiri. Sementara itu sebagian orang yang mengaku dirinya Muslim ternyata telah
banyak yang secara terang-terangan merusak Islam dan Ummat Islam. Bahkan kadang
mereka bergabung --secara sengaja atau tidak-- dengan musuh-musuh Islam.
Sedangkan kondisi Ummat Islam sendiri rawan dari berbagai seginya terutama rawan
ilmu agamanya dan keteguhannya. Dari sinilah tampak benar bahwa syari’at jihad
itu wajib diamalkan/ dipraktekkan, baik secara fisik maupun secara mental dan
pemikiran. Dan di situlah lahan luas untuk memperjuangkan agama Allah itu
tersedia kapan saja. Jangan sampai disia-siakan. Karena tegaknya agama itu di
antaranya adalah dengan jihad. Hal itu diakui dan disadari sama sekali oleh
musuh-musuh Islam, maka syari’at jihad itu pula yang menjadi bidikan utama dan
pertama untuk mereka rusak. Maka marilah kita kembalikan dan fungsikan lagi
syari’at jihad itu pada proporsinya, kita kembalikan Islam ini pada aslinya, dan
kita amalkan semuanya itu lillahi Ta’ala. Insya Allah perusakan yang
telah segencar-gencarnya ini akan bisa kita tanggulangi, dengan idzin dan
pertolongan dari Allah SWT. Ingatlah bahwa Allah SWT telah menegaskan,
sehebat-hebatnya upadaya syetan itu adalah lemah.
الذين أمنوا يقاتلون في سبيل الله والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت
فقاتلوا أولياء الشيطان إن كيد الشيطان كان ضعيفا.
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan
orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah
kawan-kawan syetan itu, karena sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah
lemah.” (QS An-Nisaa’/ 4:76).
Di samping Allah SWT menegaskan lemahnya tipu daya syetan,
masih pula Allah SWT menjelaskan bahwa posisi Muslimin itu adalah paling tinggi
derajatnya, tidak boleh merasa hina dan bersedih hati.
ولا تهنوا ولا تحزنوا وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula)
kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali ‘Imran/ 3:139).
Jaminan Allah SWT
bahwa tipu daya syetan itu lemah, sedang derajat orang-orang yang beriman itu
paling tinggi asal memang benar-benar beriman adalah modal dasar yang amat
tinggi dan besar nilainya bagi orang-orang yang mempertahankan keimanan dan
melawan kebatilan yang ditawarkan antek-antek syetan. Oleh karena itu marilah
kita memohon kepada Allah SWT agar Ummat Islam diberi kekuatan untuk
mempertahankan keimanan dan melawan kebatilan yang ditawarkan oleh syetan dan
konco-konconya itu, sehingga Ummat Islam mampu menegakkan hukum Allah SWT di
bumi-Nya ini dengan mengalahkan hukum-hukum Thaghut bikinan syetan yang
tipudayanya lemah itu. Sehingga terwujud masyarakat Islami yang istiqomah dalam
mengamalkan Islam, tegar menghadapi musuh, dan ikhlas dalam beramal, serta
bersemangat untuk mewariskan generasi yang konsisten dengan Islam.
Mudah-mudahan Allah SWT memberkahi Ummat Islam yang
konsisten/ istiqomah, hingga menepati jalan-Nya sampai akhir hayat. Amien, ya
Rabbal ‘aalamien.
[1]
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi
dan An-Nasaai dari Abu Hurairah/ Al-Quran dan Tafsirnya Depag RI: X,
6.)
[2]
(HR Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dalam
Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummu al-‘Ala’ Al-Anshariyah binahwihi, lihat
buku H Hartono Ahmad Jaiz, Rukun Iman Diguncang, Pustaka An-Naba’,
Jakarta, cetakan II, 2000, halaman 73-74, dan buku Gus Dur wali? Mendudukkan
Tasawuf, Darul Falah, Jakarta, 1999/ 2000, halaman 7-8).
Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.
- H Hartono Ahmad Jaiz -
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar