Terakhir, saya ingin mengingatkan
kalian sebuah hakikat (realita) yang tidak ada perselisihan di dalamnya, dan
saya tambahkan pula suatu (kaidah) yang banyak para pemuda kita tidak pernah
berfikir tentangnya. Hakikat itu adalah sabda Nabi : “Barangsiapa yang
mengkafirkan seorang muslim maka ia telah kafir”. Ini adalah suatu hakikat
yang tidak diragukan lagi. Penjelasan tentang hadits ini didapatkan pada riwayat
lainnya, yaitu jika ia mengkafirkan seorang yang kafir maka ia telah benar,
namun jika tidak maka vonis itu akan kembali kepadanya. Hadits ini jelas dan
tidak perlu dibahas lagi.
Oleh karena itu, saya juga tambahkan
dengan ucapan : Jika seorang yang menuduh seorang muslim sebagai mubtadi’, maka
ia benar apabila kenyataannya demikian, namun apabila tidak maka ia sendirilah
yang mubtadi’. Inilah hakikat yang telah kukemukakan barusan tadi, bahwa para
pemuda kita menvonis ulama kita sebagai mubtadi’ sedangkan mereka sendirilah
yang jatuh ke dalam kebid’ahan tanpa mereka sadari. Mereka sebenarnya tidaklah
bermaksud melakukan kebid’ahan, bahkan mereka sebenarnya berkeinginan untuk
memeranginya. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair
:
Awradaha Sa’dun wa Sa’dun
Musytamil
Maa haakadza ya Sa’d tuuradul
‘ibl
Sa’ad ingin menggiring unta
sedangkan dirinya berselimut
Bukanlah demikian wahai
sa’ad caranya menggiring unta[13]
Oleh karena itu kami nasehatkan para
pemuda ini untuk senantiasa beramal dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebatas
dengan ilmu yang dimilikinya, dan janganlah mereka lancang menuduh orang lain
yang ilmu, faham dan kesholihannya tidak mampu mereka tandingi dan tidak pula
mereka mampu membandingkan pemahaman mereka dengan orang-orang semisal mereka
ini, tidak pula kejujuran mereka, yaitu orang-orang semisal an-Nawawi dan
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani. Seluruh kaum muslimin di seluruh dunia
mengenal kedua orang ini.
Adapun Sayyid Quthb, tinggalkan beliau!!! Karena beliau adalah
orang biasa. Kami memuji atas amal dan jihadnya, namun hal ini tidaklah merubah
kenyataan bahwa beliau hanyalah seorang penulis belaka. Beliau punya keahlian
kesusasteraan namun beliau bukanlah seorang ulama. Jadi, tidaklah mengherankan
apabila ada yang keluar dari dirinya sesuatu yang menyelisihi manhaj yang haq.[14]
Adapun orang-orang yang disebutkan
beserta dirinya, seperti an-Nawawi dan Ibnu Hajar, tidak benar dan bahkan
merupakan suatu kezhaliman apabila menyebut mereka sebagai mubtadi’. Saya
tahu bahwa mereka terpengaruh dengan pemahaman Asy’ariyah namun mereka
tidaklah sengaja dan memaksudkannya untuk menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kesalahan mereka dalam masalah aqidah hanyalah dua hal yang mereka warisi dari
Asy’ariyah.
Pertama, Imam (Abul Hasan) Al-Asy’ari berpegang dengan pendapatnya
tersebut dimana kenyataannya itu adalah pendapat beliau yang terdahulu dan
beliau menarik seluruh pendapat-pendapat beliau yang terdahulu itu[15], dan kedua, mereka keliru
menduga bahwa hal ini –aqidah Asy’ariyah- adalah suatu kebenaran padahal
kenyataannya adalah sebaliknya –tidak benar-.
Penanya :
Apakah benar bahwa para ulama salaf
tidak akan menghukumi seseorang sebagai ahlus sunnah yaitu berada di atas manhaj
salaf kecuali apabila ia memiliki alamat (karakteristik) ahlus sunnah,
dan jika ia melakukan kebid’ahan atau memuji pelaku bid’ah maka ia dianggap
sebagai golongan mereka –ahlul bid’ah-??? Sebagaimana ulama salaf ada yang
mengatakan, “barangsiapa yang mengatakan Alloh tidak berada di atas langit maka
ia adalah seorang jahmiy.”
Syaikh :
Ada beberapa perincian
dalam hal ini. Namun jangan lupa dengan apa yang telah kukemukakan di awal
pembahasan tadi. Hal ini tidak menunjukkan dia sebagai bukan muslim (kafir)
seperti yang telah dicontohkan di awal tadi tentang penolakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mensholati orang yang mengambil
ghanimah tanpa izin. Hal ini dikategorikan sebagai bagian ta’dib
(memberikan pelajaran) bukan bagian takfir (menvonisnya sebagai kafir).
Poin lainnya adalah riwayat
dari para salaf, yang mana riwayatnya tidak banyak dan tidak semuanya
bersepakat, maka tidak selayaknya mengambil permasalahan manhaj dari sebagian
kecil individu atau seorang individu saja, yang kemudian manhaj ini menyelisihi
amalan salaf itu sendiri.
Telah diketahui dengan
jelas bahwa seorang muslim tidaklah dikatakan keluar dari lingkaran Islam
dikarenakan melakukan kemaksiatan ataupun kebid’ahan. Jadi, apabila kita
menemukan perkara yang menyelisihi ushul (dasar) ini, maka kita kembali
kepada apa yang telah kukemukakan pada awal penjelasanku di depan, yaitu
merupakan bagian dari tahdzir (peringatan) dan ta’dib
(pelajaran).
Kita ambil contoh, misalnya
Imam Bukhari, Apakah ada yang tidak mengenal Imam Bukhari ini??? Namun ada
beberapa ulama hadits meninggalkan Imam Bukhari dan tidak meriwayatkan dari
beliau. Kenapa?? Karena beliau merinci antara orang yang mengatakan “al-Qur’an
makhluk” -maka ia mubtadi’ sesat dan kafir menurut pendapat lainnya yang
dipegang oleh sebagian ulama-, dan antara yang mengatakan “bacaan al-Qur’anku
adalah makhluk.”
Imam Ahmad pernah mengatakan,
“Barangsiapa yang mengatakan bahwa “lafazh (bacaan) al-Qur’an-ku adalah makhluk” maka ia termasuk golongan
jahmiyah.”[16]
Berdasarkan hal ini, orang-orang setelah zaman Imam Ahmad membuat suatu
penilaian untuk tidak menerima periwayatan dari Imam Bukhari, karena beliau
telah membuat suatu pernyataan yang sama dengan jahmiyah. Walaupun
demikian, jahmiyah tidaklah mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an adalah
makhluk, namun mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu sendirilah yang bukan
kalamullah namun makhluk Alloh.
Apakah pendapat kita
terhadap ucapan Imam Bukhori yang membedakan antara orang yang mengatakan
“bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” dengan pendapat ulama hadits seperti Imam
Ahmad yang mengatakan bahwa siapa yang mengatakan bacaan al-Qur’an makhluk maka
ia adalah seorang jahmiy? Tidak mungkin kita mengatakan bahwa kedua
pendapat di atas adalah benar, kecuali jika kita membuat suatu takwil yang
shahih mengikuti dasar kaidah hukum.
Sebelum melanjutkan, saya
percaya bahwa Anda akan membuat suatu perbedaan –sebagaimana diriku- terhadap
orang yang mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah makhluk” dengan orang yang
mengatakan “bacaan al-Qur’an adalah makhluk”. Benar?
[13].
Syair ini
seringkali digunakan menggambarkan orang yang berusaha melakukan suatu hal namun
ia tidak tahu bagaimana caranya.
[14]. Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari
memiliki risalah yang menjelaskan tentang sikap Syaikh al-Albani terhadap Sayyid
Quthb yang berjudul Haqqu Kalimati Imam al-Albani fi Sayyid Quthb wa naqdi
Ahwaalihi wa Naqdli Aqwaalihi. Risalah ini ditulis untuk mengcounter
buku yang berjudul Kalimatu Haqqi lil Muhaddits al-Albani fil Ustadz Sayyid
Quthb yang disusun oleh Wa’il Ali al-Battiri dan
ditaqdim oeh Syaikh Muhammad Syaqroh, Ahmad al-Manna’i dan
DR. Sholah Khalidi. Di dalam buku ini berisi pujian dan pembelaan
terhadap Sayyid Quthb beserta persaksian dan pandangan sebagian ulama dan
du’at terhadap Sayid Quthb diantaranya adalah DR. Salman al-‘Audah
yang memberikan pujian kepada Fi Zhilaalil Qur’an. Syaikh Ali di
dalam risalah ini meluruskan kesalahan-kesalahan buku ini dan membantah
syubuhat yang dihembuskan oleh penulisnya. Syaikh Ali menukil kembali
ucapan-ucapan Syaikh Albani yang benar secara obyektif dan jujur dan
mengcounter nukilan-nukilan al-Battiri. Di antara nukilan-nukilan tersebut
adalah :
-
Syaikh Albani rahimahullahu berkata : “Saya berkeyakinan bahwa orang ini (Sayyid Quthb) bukanlah seorang yang ‘alim”. (Kalimatul Haqqi hal. 42-43).
-
Beliau rahimahullahu berkata : “Orang ini (Sayyid Quthb) tidaklah lebih hanya dari seorang penulis, dia adalah seorang yang adib (ahli sastera) yang ulung. Namun dirinya bukanlah orang yang ‘alim oleh karena itu tidaklah aneh apabila keluar dari dirinya sesuatu, sesuatu dan sesuatu yang menyelisihi manhaj yang shahih.” (Kalimatul Haqqi hal. 43)
-
Beliau rahimahullahu berkata : “Kami telah mengatakan lebih dari sekali, bahwa Sayyid Quthb ini bukanlah orang yang ‘alim. Sesungguhnya dirinya adalah orang yang adib dan seorang penulis.” (Kalimatul Haqqi hal. 81) dst…
-
Beliau rahimahullahu juga berkata : “Di dalam buku-buku Sayyid Quthb yang terdahulu, banyak sekali kesalahan-kesalahan ilmiahnya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun masalah ahkam.” (Kalimatul Haqqi hal. 43).
-
Syaikh Albani berkata tentang buku Sayyid Quthb, “Kitab al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah tidak ada nilainya sama sekali secara mutlak…” (Kalimatul Haqqi hal. 61).
[15]. Dan pendapat
Imam Abul Hasan al-Asy’ari setelah ruju’nya adalah sebagaimana yang
tertuang di dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Ushulid Diyaanah :
“Pendapat yang
kita berpendapat dengannya dan agama yang kita beragama dengannya adalah : kita
berpegang dengan Kitabullah Azza wa Jalla dan dengan Sunnah
Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta dengan apa yang
diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kami berpegang
dengan itu semuanya, dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal, dan orang-orang yang menyelisihi ucapannya adalah orang yang
sesat…”
[16]. Imam Ahmad berkata : “Janganlah kamu bermajlis dengan orang yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’, dan janganlah kamu sholat di belakangnya karena ucapan ini termasuk ucapan Jahm.” (Thobaqot al-Hanabilah karya Abu Ya’la, Juz I/299; dinukil dari Aqo’id A`immatis Salaf karya Fawwaz Ahmad Zamroli, hal. 44). Beliau juga berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’ maka ia kafir, dimintai taubatnya dan apabila ia bertaubat (maka diampuni) dan apabila tidak bertaubat maka ia dibunuh” (Thobaqot : I/328; dinukil dari Aqoi`d hal. 45).
[16]. Imam Ahmad berkata : “Janganlah kamu bermajlis dengan orang yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’, dan janganlah kamu sholat di belakangnya karena ucapan ini termasuk ucapan Jahm.” (Thobaqot al-Hanabilah karya Abu Ya’la, Juz I/299; dinukil dari Aqo’id A`immatis Salaf karya Fawwaz Ahmad Zamroli, hal. 44). Beliau juga berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk’ maka ia kafir, dimintai taubatnya dan apabila ia bertaubat (maka diampuni) dan apabila tidak bertaubat maka ia dibunuh” (Thobaqot : I/328; dinukil dari Aqoi`d hal. 45).
HAKIKAT BID’AH & KUFUR
Tanya Jawab Bersama :
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar