Sementara itu para munafiqun di dalam kalangan Ummat Islam, dengan intensipnya
menjajakan paket-paket yang bertujuan menggoyahkan keimanan, mengaburkan, dan
membuat tasykik alias keragu-raguan dalam dada Muslimin, terutama kaum
terpelajar, lapisan “menengah ke atas” yang dipandang haus agama namun relatif
awam ilmu agama. Biasanya oleh para penganjur kesesatan dan tasykik itu
diadakan paket-paket kajian yakni paket kajian tasawuf. Paket kajian tasawuf itu
biasanya dengan biaya mahal, dan sasarannya adalah kaum elit, atau kelompok
menengah ke atas. Dengan biaya mahal itu maka bisa ditarik berbagai keuntungan
bagi penjajanya.
Pertama, terkesan elit, karena mahal.
Kedua,
lebih beruntung karena penjajanya bisa mengeruk duit dari para korban.
Ketiga, ilmu yang mereka dapatkan dari Yahudi (terutama bagi yang sempat
belajar ke Universitas-universitas di Barat, yang mereka sebut Studi Islam,
padahal sebenarnya hanyalah sufisme atau tasawuf) ataupun dari musuh-musuh Islam
bisa mereka sebarkan kepada tokoh-tokoh elit yang mereka itu kemungkinan sekali
punya kedudukan terhormat di kalangan Islam.
Keempat, akan mampu membuat
jalur dan program penyesatan yang lebih luas dan canggih lagi.
Kelima,
aneka aliran melenceng dan sesat bisa bergabung dan bersatu padu dalam ajaran
tasawuf yang mereka jajakan itu karena sifatnya yang memang sebenarnya ibahiyah/
permisive terhadap aneka kesesatan, sehubungan dengan sifat dasar tasawuf itu
sendiri sangat longgar dalam menyeleksi kesahihan sumber. Sehingga kumpulan
faham dan aliran sesat akan bisa bersatu padu dalam menghadapi Muslimin yang
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, akibatnya Muslimin yang
istiqomah itu justru dijadikan sebagai musuh bersama oleh kumpulan aliran sesat
ini di bawah boss mereka yaitu Yahudi dan Nasrani. Dalam kehidupan politik pun
sangat nyata, betapa rukun dan sayuk (maju bersama)nya golongan ahli
bid’ah, khurafat, takhayul plus tasawuf ini dengan Yahudi dan Nasrani, baik
tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Bahkan mereka tidak
canggung-canggung lagi untuk mengadakan apa yang mereka sebut do’a bersama antar
agama, bukan hanya dengan boss mereka yaitu Yahudi dan Nasrani, namun sekaligus
dengan Hindu, Budha, Konghuchu dan aneka aliran kemusyrikan musuh Allah SWT. Itu
diprakarsai oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Hasyim
Muzadi. Acara itu disebut “Indonesia Berdo’a”, dilangsungkan secara Nasional di
Senayan Jakarta, Agustus 2000M. Padahal, yang namanya do’a bersama antara Islam
dan non Islam, itu yang dibolehkan hanyalah do’a saling melaknat agar laknat itu
menimpa atas salah satu dari dua pihak itu yang berdusta. Do’a saling melaknat
ini namanya mubahalah, yang hal itu ditantangkan oleh Nabi Muhammad saw
terhadap pendeta Nasrani Najran, namun pendeta itu tidak berani. Bagaimana
ceritanya, orang yang masih mengaku sebagai Ummat Nabi Muhammad, namun
berbalikan seratus persen dengan Nabinya. Nabinya menantang pendeta untuk
bermubahalah (saling melaknat, agar laknatnya menimpa atas yang berdusta), namun
justru orang yang mengaku Ummat Nabi Muhammad berani memprakarsai upacara
nasional saling merangkul dengan do’a terhadap yang Nabi akan laknat.
Dari
sini (yakni pengadaan paket-paket kajian tasawuf dan juga siaran-siaran tasawuf
di semua televisi yang tampaknya makin tak menggubris aturan Islam, dan aneka
sepak terjang yang dicontohkan oleh kelompok ahli bid’ah, khurofat, takhayyul
ini) maka diacak-acaklah bibit fitrah keimanan kaum terpelajar bahkan eksekutif
--yang kondisi ekonominya mapan dan ingin mencari kedamaian lewat agama itu--
dengan trik-trik yang cukup memukau, namun sebenarnya adalah racun penghapus
keimanan. Yaitu di antaranya ditawarkan faham-faham yang membabat Islam,
misalnya faham pluralisme yang menganggap semua agama itu sama saja, tujuannya
sama, semua mengajarkan kebaikan, semuanya masuk surga, sama dan sejajar,
paralel, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita
sendiri. Dengan tawaran yang tampaknya toleran, adil, humanis, dan sesuai dengan
kondisi itu, si Muslim yang awam yang telah terseret ke penawaran ini sebenarnya
adalah masuk ke jerat yang mencopot keimanan si Muslim itu secara suka rela
tanpa merasa kehilangan. Sehingga, sebenarnya fahamnya telah berbalik dari faham
fitrah Islami menjadi faham yang membuang Islam dan mengakui semua agama itu
sama. Dan itulah titik temu dari faham pluralisme yang dicanangkan oknum
Nasrani, John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths
(1973), dan faham tokoh sufi/ tasawuf sesat Ibnu Arabi yang mencanangkan
Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama, disamping faham kemusyrikan
bikinan Ibnu Arabi yang terkenal dengan sebutan wihdatul wujud,
menyatunya kawula (hamba) dengan Gusti (Tuhan). Dianggapnya itu adalah maqom
(tingkatan) tertinggi, padahal justru itulah tingkatan yang paling jauh
sesatnya, karena telah musyrik sekaligus murtad.
Dalil-dalil menjawab ahli
tasykik
Untuk menjawab golongan tasykik
(menyebarkan keragu-raguan) itu, perlu disimak ayat-ayat, hadits, sirah Nabi
Muhammad saw yang riwayatnya otentik.
Kalau
semua agama itu sama, sedang mereka yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in
itu cukup hanya mengamalkan agamanya, dan tidak usah mengikuti Nabi Muhammad
saw, maka berarti membatalkan berlakunya sebagian ayat Allah dalam Al-Qur’an. Di
antaranya ayat:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.”
(As-Saba’: 28).
“Katakanlah (hai Muhammad): Hai manusia! Sesungguhnya aku utusan Allah kepada
kamu semua.” (Al-A’raaf: 158).
Apakah mungkin ayat itu dianggap tidak berlaku? Dan kalau tidak meyakini ayat
dari Al-Qur’an, maka hukumnya adalah ingkar terhadap Islam itu sendiri. Kemudian
masih perlu pula disimak hadits-hadits.
Sabda
Nabi saw:
“Wa
kaanan nabiyyu yub’atsu ilaa qoumihi khooshshotan wa bu’itstu ilan naasi
‘aamatan.”
“Dahulu Nabi diutus khusus kepada kaumnya sedangkan aku (Muhammad)
diutus untuk seluruh manusia.” (Diriwayatkan Al-Bukhari 1/ 86, dan Muslim
II/ 63, 64).
Mungkin golongan tasykik masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan hadits
tentang diutusnya Nabi Muhammad untuk seluruh manusia ini bukan berarti Yahudi
dan Nasrani sekarang baru bisa masuk surga kalau mengikuti ajaran Nabi saw.
Kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya:
عن أبي هريرة عن رسول الله ص م
أنه قال: والذي نفس محمد بيده ، لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم
يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار.
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsi
Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun
walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa
kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau
bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang
dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun
Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus
dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw
ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada
risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan
agama beliau).
Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad saw sebagai pengemban
risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti
Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar
beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menjalankan
agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad
saw mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang
keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang
beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai
Allah SWT.
Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti,
Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk
masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan
surat-surat Nabi saw yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di
antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia),
Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir,
Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi.
Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan.
- H Hartono Ahmad Jaiz -
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar