Pembelaan orang-orang NU terhadap Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dari goyangan yang
ingin menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan karena dianggap kepemimpinannya
menimbulkan berbagai masalah dan tidak ada tanda-tanda kebaikan, tampaknya
diujudkan dengan aneka macam. Dan pembelaan itu sendiri kelihatannya tidak
perduli lagi, entah benar entah salah, pokoknya asal membela.
Bentuk-bentuk pembelaan itu di antaranya ada yang
sesumbar mau menyantet, ada yang kiyai-kiyainya kumpul-kumpul untuk mencarikan
hukum pakai kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab biasanya kertasnya berwarna
kuning) supaya para penggoyang Gus Dur yang menginginkan Gus Dur mundur dari
kursi kepresidenan itu dihukumi sebagai bughot (pemberontak). Kalau sudah
dihukumi bughat, maka pemerintahan Islam boleh memeranginya.
Dikhabarkan, sekitar 20 ulama NU Jawa Timur, Senin
(19/3 2001), membahas hukum agama tentang bughat. Mereka menilai situasi
politik yang ada sudah menjurus ke arah bughat kepada pemerintahan yang
sah. Pertemuan dipimpin Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Ahmad Subadar.
(Republika, 20/3 2001).
Weleh-weleh.... Orang NU itu mendirikan partai
PKB –Partai Kebangkitan Bangsa-- saja tidak doyan asas Islam, dan Gus Dur
sendiri menganggap kalau Islam dilegalkan atau diformalkan itu berbahaya,
kok malah para Kiyai NU Jawa Timur capek-capek ramai-ramai membuka kitab
kuning untuk mencari hukum bughat (pemberontak bersenjata terhadap
pemerintahan Islam yang sah). Apa mereka lupa bahwa Gus Dur itu memerintah sama
sekali tidak memakai syari’at Islam, dan bahkan jelas tidak doyan syari’at
Islam? Mestinya, dulu-dulu orang NU itu memperjuangkan syari’at Islam, baru
kemudian kalau ada yang memberontak pada pemerintahan yang menjalankan syari’at
Islam dicarikan hukum Islamnya yang judulnya bughat. Itu baru namanya
para kiyai atau rombongan ulama. Tapi ini sudah sejak semula justru tidak doyan
syari’at, tahu-tahu ketika dirasa kepemimpinannya dhalim dan tidak efektif
lantas digoyang orang, maka yang menggoyangnya mau dicap sebagai bughat,
dan sudah lebih dulu mengirimkan Pasukan Berani Mati (PBM) demi membela Gus Dur
dan melawan penggoyangnya yang mereka sebut bughat.
Mereka menolak kalau Syari’at Islam ditegakkaan.
Tetapi mereka ingin mengklaim bahwa orang yang menggoyang kepemimpinan Gus Dur
itu sebagai bughat, ini adalah sikap yang nyata-nyata menirukan sikap
Yahudi yang telah dikecam oleh Allah SWT:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari Qiyamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 85).
Apa itu Bughat?
Bughat atau bughoh
adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan
senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan.
Kata bughoh jama’ dari
baaghin artinya seorang penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan
senjata.
Yang dikatakan kaum bughat, ialah orang-orang
yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun
yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal
kenegaraan dan keagamaanya. Adapun cara memberontak ialah dengan:
a.
Memisahkan diri dari wilayah
kekuasaan Imamnya.
b.
Atau menentang kepada keputusan
Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata.
Orang-orang golongan manusia yang disebut bughat
itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak
Imamnya.
2.
Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh
mereka.
3.
Mereka berbuat demikian, disebabkan
karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik
pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi
keharusan baginya.
Adapun yang dikatakan Imamul Muslimin, ialah pemegang
pemerintahan umum bagi kaum Muslimin, mengenai urusan agama dan urusan
kenegaraannya dan dia diangkat berdasarkan bai’at (kesetiaan) dari
masyarakatnya, entah langsung atau melalui wakil-wakilnya, yaitu: Para ulama,
cendekiawan, dan para terkemuka yang disebut: Ahlul Hilli wal ‘aqdi.
Pengangkatan Imam dianggap cukup dengan perantaraan mereka, karena mereka
itu mudah untuk berkumpul dalam satu tempat, sehingga segala persoalan mudah
diatasi/ diselesaikan.
Kaum Bughat bisa ditumpas dengan
jalan:
a.
Mula-mula Imam mengutus utusannya
untuk menghubungi mereka guna meminta alasan sebab-sebabnya mereka memberontak.
Hal ini sebagaimana tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dalam mengutus Ibnu
Abbas untuk menghubungi golongan Nahrawan.
b.
Kalau disebabkan karena Imamnya
berbuat kedzaliman, hendaknya Imam itu meninggalkan/ merobah perbuatannya itu
supaya menjadi baik.
c.
Kalau Imam itu tidak merasakan bahwa
dia itu tidak berbuat dhalim, hendaknya diadakan pertukaran fikiran antara Imam
dengan pemimpin mereka (pemberontak).
d.
Kalau mereka terus membandel, Imam
berhak memberikan ultimatum kepada mereka, dengan akan diadakannya tindakan
tegas, bila mereka tidak segera menyerahkan diri.
e.
Kalau mereka terus membandel juga,
Imam berhak untuk mengadakan tindakan dengan kekerasan senjata pula sebagai
imbangan kepada perbuatan mereka.
Firman Allah:
“Kalau dua golongan dari golongan
orang-orang Mukmin mengadakan peperangan, maka damaikanlah antara keduanya.
Kalau salah satunya berbuat menentang perdamaian kepada lainnya, maka perangilah
orang-orang (golongan) yang menentang itu sehingga mereka kembali ke jalan
Allah. Kalau mereka kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan
memang harus berbuat adillah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah itu mencintai
pada orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujuraat: 9).
Kekhususan dalam Menghadapi Bughat
Imam Al-Mawardi
menjelaskan ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak kaum Muslimin
dengan memerangi orang-orang Musyrik dan orang-orang murtad.
1.
Peperangan terhadap para pemberontak
kaum muslimin dimaksudkan untuk menghentikan pemberontakan mereka dan sama
sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain dibenarkan
peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk
membunuh mereka.
2.
Para pemberontak kaum muslimin
baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. Jika mereka mundur dari medan
perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang
orang-orang musyrik dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau
mundur.
3.
Orang-orang terluka dari para
pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan membunuh orang-orang
terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada Perang Jamal, Ali
bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu memerintahkan penyerunya untuk berseru
dengan suara keras, “Orang yang telah mundur dari medan perang tidak boleh
diserang, dan orang yang terluka tidak boleh dibunuh.”
4.
Tawanan-tawanan yang berasal dari
para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain tawanan-tawanan dari
orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang
dari para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat ; jika ia diyakini tidak
kembali berperang (memberontak), ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali
berperang (memberontak), ia tetap ditawan hingga perang usai. Jika perang telah
usai, ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang. Al-Hajjaj pernah
membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Qathri bin Al-Fuja’ah,
karena keduanya saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut,
“kembalilah berperang melawan musuh Allah, Al-Hajjaj.” Tawanan tersebut
menjawab, “Aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan telah
berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskannya!”
5.
Harta para pemberontak tidak boleh
diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh disandra. Diriwayatkan dari Rasulullah
saw bahwa beliau bersabda,
منعت دار
الإسلام ما فيها، وأباحت دار الشرك ما فيها.
Dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik.
6. Dalam memerangi para pemberontak, negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir muahid (yang berdamai dengan kaum muslimin), atau orang kafir dzimmi (kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin dengan membayar jizyah dalam jumlah tertentu), kendati hal tersebut dibenarkan ketika negara Islam memerangi orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad.
7. Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu dan juga tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi uang. Jika komandan perang pasukan Islam berdamai dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhinya. Jika ia tidak sanggup memerangi mereka, ia menunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia berdamai dengan mereka, dengan kompensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai’ mereka atau berasal dari sedekah (zakat) mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai’ dibagi-bagikan pada penerimanya. Jika uang perdamaian murni dari mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki pasukan Islam dan harus dikembalikan kepada mereka.
8. Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al-arradat (senjata pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma-kurma dan pohon-pohon mereka tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, kendati warganya memberontak.
Demikianlah pengertian tentang bughat atau
pemberontak Muslim di negeri yang pemerintahannya Islam. Perlawanan para
pemberontak pemerintahan Islam itu sendiri apabila pemerintahnya dhalim, masih
jadi pembicaraan, sebagai berikut:
Prof TM Hasbi As-Shiddieqy mengemukakan kaidah
sebagai berikut:
“Tidak boleh kita menentang pemerintah atau
kepala negara selama mereka belum melahirkan kufur yang nyata.”
Demikian pendapat Jumhur Ulama. Setengah ulama
membolehkan, bahkan mewajibkan rakyat menentang kepala negara yang lalim,
walaupun belum nyata kufurnya
Dalam kaidah itu, pemerintahan Islam yang sah saja
kalau penguasanya dhalim maka sebagian ulama membolehkan bahkan mewajibkan
rakyat menentangnya. Lantas, bagaimana bisa pemerintahan Gus Dur yang sama
sekali tidak doyan Islam itu mau didukung-dukung oleh orang-orang NU yang
mencari-cari hukum bughat dan akan ditimpakan kepada para penentang Gus
Dur yang dinilai dhalim? Bahkan sudah ada 500-an orang yang menyebut dirinya
Pasukan Berani Mati (PBM) demi Gus Dur didatangkan dari Jawa Timur ke Jakarta.
Bila Kiyai Menjadi Tuhan
Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional
Oleh : Hartono Ahmad Jaiz
Kunjungi juga:
Bila Kiyai Menjadi Tuhan
Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional
Oleh : Hartono Ahmad Jaiz
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar