Mustahil bagi kita untuk memahami apa
yang dimaksud oleh orang tasawwuf dengan ucapan mereka tentang "Hakikat
Muhammadiyyah" atau "Nur Muhammad", kecuali dengan mengetahui aqidah mereka.
Teori tasawwuf falsafi pada abad ke tiga belas Masehi telah sampai pada
pendapat bahwa Allah ialah wujud yang berdiri ini, yang diperbarui, yang
berubah, maka Dia yaitu langit, bumi, arsy, kursi, malaikat, manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan. Dan dia itu lah yang azali dan abadi.
Maha Suci
Allah, jauh dari ucapan mereka (sufi falsafi), Dia Maha Tinggi dan Maha
Besar.
Mereka
berbeda-beda dalam ucapannya. Kadang mereka katakan Dia itu ruh yang berjalan
di dalam hal-hal yang wujud, dan mereka menyerupakan ini dengan dua hal
yang berjalan bahwa Dia itu seperti aroma bunga dalam bunga, dan adanya roh
dalam jasad yang hidup.
Dan
kadang-kadang mereka mengatakan, nafsu wujudil maujudat (adanya makhluk itu
sendiri) ialah wujud Allah. Maka tidak ada dua dalam wujud, pencipta dan
makhluk, tetapi makhluk itu sendiri adalah pencipta itu. Dan pencipta itu
sendiri adalah makhluk itu.
Kepercayaan batil yang demikian itu disebarkan kepada
manusia oleh penggede-penggede tasawwuf dari ahli zindiq dan mulhid
(murtad) seperti Ibnu 'Arabi, Al-Hallaj, Al-Jili, Ibnu Sab'ien, dan
orang-orang yang model mereka. Orang-orang sufi itu dalam kitab-kitab
mereka mengingkari orang yang bersaksi bahwa Allah Ta'ala itu adalah Tuhan
yang Berdiri dengan SendiriNya Yang Maha Sempurna di atas Arsy yang Dia
bangun. Dan itulah yang menjadi keyakinan ummat Islam tentang Tuhan SWT.
(Al-Fikrus Shufi, hal 175).
Ibnu
'Arabi dalam kitabnya, At-Tajalliyyaat, mengaku bahwa ia bertemu dengan
tokoh-tokoh tasawwuf terdahulu dalam Barzakh (kubur) dan mendiskusikan/
membantah kepada mereka dalam hal aqidah Tauhid mereka (Yaitu Allah di
atas Arsy dan mencipta makhluk), dan Ibnu Arabi menjelaskan, menyalahkan dan
memberitahukan kepada mereka pada puncaknya bahwa laa maujud illallaah,
(tidak ada yang wujud kecuali Allah), wa annallaaha wal 'abda syai'un
waahid, (dan sesungguhnya Allah dan hamba itu adalah sesuatu yang satu). Dan
mereka semuanya mengakui itu, semua itu ada di kitab At-Tajalliyyaat.
(Al-Fikrus Shufi, hal 176).
Yang
penting, orang-orang tasawwuf itu menukil/ mengutip kepercayaan wihdatul
wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Tuhan) dari
filsafat Platonisme, dan mereka mempercayai dan menjadikannya sebagai
hakekat sufisme dan sirril asror (rahasianya rahasia), dan itulah aqidah
pengikut Islam menurut pengakuan mereka.
Orang-orang Sufi menukil pendapat para filosof dalam
teori mereka mengenai awal penciptaan. Para filosof kuno mengatakan "bahwa
awal penciptaam itu adalah haba'/ debu (atom), dan pertama-tama yang wujud
itu adalah "akal awal" yang dinamakan "akal kreator" (akal fa'aal). Dan dari
"akal awal" ini tumbuh alam atas, langit-langit dan bintang-bintang,
kemudian alam bawah... dst. (Al-Fikrus Shufi, hal 176).
Teori
filsafat kuno ini kemudian pada masa Ibnu Arabi (abad 13 M) ia nukil sendiri
ke pemikiran sufi tetapi diganti nama, "akal fa''aal" yang disebutkan filosof
kuno itu ia sebut "Haqiqat Muhammadiyyah" (Hakekat Muhammad). Maka sangkaan
filosof bahwa awal kejadian itu adalah haba'/ debu (atom) --ucapan filosof
sendiri-- lalu Ibnu 'Arabi menyebutnya awal kejadian itu adalah "hakekat
Muhammad", dan menurut ungkapan Ibnu Arabi, awal ta'yinaat (awal kejadian yang
dibentuk dari atom). Ibnu Arabi berpanjang kalam dalam hal ini, dan ia
mengatakan bahwa "Hakekat Muhammadi" ini lah yang bersemayam di atas arsy
Tuhan. Dan dari nur (cahaya) dzat inilah Allah menciptakan makhluk semuanya
setelah itu. Maka malaikat, langit, dan bumi semuanya itu diciptakan dari Nur
Dzat yang pertama, yaitu Dzat Muhammadi, menurut Ibnu Arabi, dan "aqal fa''aal"
menurut pemikiran falsafi.
Demikianlah, Ibnu Arabi mampu memindahkan barang
murahan dan khayalan filsafat yang sakit, ke dunia Muslimin dan ke aqidah
ummat Islam. Bahkan Ibnu Arabi menjadikan aqidah ilhadiyah (murtad, anti
Tuhan) sebagai aqidah asasi/ pokok dasar yang untuk tempat berdirinya pemikiran
sufi seluruhnya setelah itu.
Dari
rekayasa sufi mulhid (murtad) itulah maka kita tahu apa yang dimaksud oleh
orang sufi falsafi tentang wihdatul wujud, bahwa menurut mereka Allah bukanlah
Dzat yang nanti dilihat oleh orang-orang Mu'min di akherat dan bersemayam di
atas Arsy. Tetapi Allah menurut mereka hanyalah wujud (alam) ini sendiri
dengan seluruh tingkatan dan pertentangannya. Maka Allah menurut mereka adalah
adanya wujud malaikat, syetan, manusia, jin, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.
Pengarang
Al-Fikrus Shufi berkomentar, apabila kita telah tahu hakekat teori falsafah
kafir yang dipindahkan oleh orang tasawwuf mulhid (murtad) ke Islam ini maka
kita tahu setelah itu, apa yang dimaksud orang sufi tentang perkataan mereka
mengenai " Hakekat Muhammadi" yang bersemayam di Arsy, dan menjadikan Nabi
Muhammad SAW sebagai makhluk pertama sebelum adanya alam seluruhnya. Dan dialah
yang bersemayam di atas Arsy. Dan dari Nur Muhammad SAW itu Allah menciptakan
seluruh alam, setelah itu, yaitu langit-langit, bumi, malaikat, manusia, jin,
dan seluruh makhluk. Maka " Hakekat Muhammadi", menurut tuduhan mereka adalah
bentuk sempurna yang baru bagi Dzat Tuhan yang tidak terlihat dengan
dzatnya dan tidak terpisahkan dari wujud ini... Maka Nabi Muhammad SAW menurut
Ibnu Arabi dan syaikh-syaikh tasawwuf yang datang setelahnya, dialah Allah
yang Mutajalli di atas Arsy, atau --katakanlah-- dia (Muhammad SAW) itu
Allah yang dikecilkan (dalam bentuk kecil). Dan kepada dialah, kejadian
segala makhluk yang ada ini bertumpu padanya, dan segala cahaya terbelah
darinya, dan segala alam, dan segala yang ada...
Dan
Muhammad SAW itulah biji pertama bagi seluruh yang ada, maka dia seperti
biji bagi pohon, dari biji itulah kemudian ada pokok, cabang, daun, buah, dan
duri-duri. Maka demikian pula permulaan yang ada itu dengan adanya Muhammad
SAW kemudian dari nurnya (Nur Muhammad) itu diciptakan Arsy, kursi,
langit-langit, bumi, Adam dan keturunannya, dan cabang-cabang makhluk dan
setelah itu berangsur-angsur adanya makhluk-makhluk yang diciptakan dari Nur
Nabi Muhammad SAW. Maka semua yang ada ini menurut aqidah tasawwuf adalah
sesuatu yang satu yang bercabang-cabang dari asal yang satu, atau katakanlah
pohon yang satu yang bercabang-cabang dari biji yang satu. (Al-Fikrus Shufi,
hal 178).
Dari
berbagai uraian itu bisa disimpulkan, kepercayaan sufisme mengenai Nabi Muhammad
SAW ada tiga tingkatan:
1.
Orang-orang yang berpendapat dengan wihdatil wujud, menganggap bahwa Allah
adalah dzat alam yang ada (dzatul maujudat), maka mereka menjadikan Rasul
sebagai makhluk pertama. Lalu dari dia (Rasul) lah muncul makhluk semuanya,
dan dia (Rasul) itulah tuhan yang bersemayam di atas Arasy. Inilah
kepercayaan Ibnu Arabi dan orang-orang model dia (yang telah dikafirkan
banyak ulama).
2.
Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada secara
benar-benar (fi'lan), dan darinyalah terbelah cahaya-cahaya dan diciptakan
makhluk semuanya. Tetapi mereka tidak mengatakan bahwa dzat rasul bersemayam
di atas Arsy.
3.
Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada dan
dialah yang paling mulia-mulianya makhluk, dan karena dialah Allah
menciptakan alam seluruhnya, tanpa mereka jelaskan bahwa alam-alam telah
dibuat dari nurnya, mereka hanyalah mengatakan diciptakan alam ini karena
Nur Muhammad. (Al-Fikrus Shufi, hal 180-181).
Tasawwuf
terpengaruh filsafat kuno dan kepercayaan Nasrani
Tidak
diragukan lagi bahwa orang-orang tasawwuf yang percaya seperti itu mengenai
Rasululah SAW, mereka bukan hanya terpengaruh oleh teori filosof-filosof kuno
tentang teori penciptaan dan pendapat mereka bahwa ciptaan awal itu dengan
haba' / debu (atom), dan akal pertama, atau akal fa''aal (akal kreator)...
tetapi mereka (orang tasawwuf) juga terpengaruh oleh apa yang dikatakan
orang-orang Nasrani mengenai Nabi Isa. Dan tidak diragukan lagi bahwa teori
Nasrani mengenai Al-Masih itu terpengaruh pula dengan pendapat falasifah
dalam hal "akal fa''aal" (akal kreator).
Orang-orang tasawwuf telah dapat menukil / mengambil
alih teori ini walaupun diambil dari kesamarannya secara filsafat, dan sulitnya
mendalili dengan dalil mantiq (logika) yang bisa diterima akal, dan dengan
keringnya teori ini dari aqidah Islam yang jelas lagi mudah.
Walaupun
demikian (amburadulnya), namun orang tasawwuf dapat menjadikan kepercayaan
(sesat dan syirik) ini menjadi akidah orang awam dan kebanyakan kaum
Muslimin. Yang demikian itu karena dibuat ungkapan-ungkapan yang mudah, dan
dalam syair yang mudah diucapkan dengan cepat seperti ucapan mereka:
"Laulaaka
laulaaka maa kholaqtul aflaak!! (Seandainya tidak karena kamu (Muhammad),
seandainya tidak karena kamu (Muhammad) pasti Aku tidak menciptakan
planet-planet/ alam ini). (Al-Fikrus Shufi, hal 192).
Para
muballigh di Indonesia, terutama orang sufi, hampir bisa dipastikan, mereka
selalu mempidatokan bahkan mengkhutbahkan hadits palsu (laulaaka...)
tersebut, dengan mereka sebutkan sebagai Hadits. Lebih-lebih di bulan
Rabi'ul Awwal, atau ketika mereka memperingati Maulid Nabi SAW, suatu acara
yang asalnya bikinan kaum Syi'ah itu. Pernah penulis menegur khatib yang
berkhutbah membawakan hadits palsu tersebut pada tahun 1419H/1998M di suatu
Masjid di dekat rumah di Jakarta, hingga tahun berikutnya, alhamdulillah dia
tidak mengemukakannya lagi.
Ahli
Hadits Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah (wafat Jumadil Akhir 1420H)
menjelaskan, "Laulaaka lamaa kholaqtul aflaak itu statusnya adalah hadits
maudhu' (palsu). As-Shaghani menyatakannya dalam kitab Al-Ahaditsul Maudhu'ah
(Hadits-hadits palsu) halaman 7. Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadits serupa
yang telah dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudhu'at (hadits-hadits
palsu) seraya memastikan sebagai hadits maudhu' (palsu).
Pemastian
Ibnul Jauzi tersebut juga ditetapkan dan diakui oleh As-Suyuthi dalam
kitab al-La'ali I/ 272. (Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terjemah Silsilah
Hadits Dha'if dan Maudhu', Gema Insani Press Jakarta, Jilid I, Hadits Nomor
282, halaman 229-230).
Syeikh
Abdur Rahman Abdul Khaliq mengemukakan: "Suatu kali saya berkhutbah di
masjid Nabawi (Madinah) pada sekitar tahun 1381M/1960M menjelaskan aqidah yang
wajib mengenai Rasul SAW. Lalu seorang jama'ah haji yang sudah tua berdiri
kepadaku dan berkata padaku: "Bukankah Allah Ta'ala berfirman: "Laulaaka
laulaaka maa kholaqtul aflaak". Maka aku jawab padanya: "Ini (laulaaka...)
bukan ayat Al-Quran, dan juga bukan hadits, sedangkan kepercayaan (yang
terkandung pada)nya itu adalah syirik billah (menyekutukan Allah)!!" Lihatlah
bagaimana kepercayaan (batil, kufur, sesat dan syirik) ini berjalan pada
lisan-lisan manusia dengan ucapan sajak yang dikira oleh orang awam sebagai
Al-Quran, padahal bukan. (Al-Fikrus Shufi, hal 194).
Tasawuf Belitan Iblis
- H Hartono Ahmad Jaiz –
Kunjungi juga:
Komentar
Posting Komentar